Sabtu, 23 Maret 2013

Pertanyaan: 
"Konon peraturan-peraturan yang ada dalam pemerintahan negeri ini diatur berdasarkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam. Tetapi, kabarnya banyak terjadi kontroversial dari perundang-undangan yang telah dibuat bila dikaitkan dengan dasar hukum lainnya. Bisakah dijelaskan fakta ini terkait dengan praktik dalam dunia pendidikan?

Jawaban:
Hukum sebagai aturan tingkah laku dapat tertulis dan dapat pula tidak tertulis. Hukum tertulis ialah serangkaian aturan tingkah laku manusia yang diterapkan oleh instansi yang berwenang, sedangkan hukum tidak tertulis ialah serangkaian aturan tingkah laku manusia yang berupa hukum adat dan konvensi. Sebagaimana ditentukan dalam Ketetapan MPR-RI No.II/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Pengaturan Perundangan, Pasal 2, tata urutan peraturan perUndang-Undangan Republik Indonesia ialah :
1. Undang-Undang Dasar 1945
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
3. Undang-Undang
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
5. Peraturan Pemerintah
6. Keputusan Presiden
7. Peraturan Daerah

Sejak adanya Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi-muatan konstitusi hanya dapat diatur dalam UUD 1945 dan Perubahan terhadapnya. Ini berarti bahwa materi-muatan konstitusi tidak dapat diatur dalam peraturan PerUndang-Undangan yang lebih rendah, baik itu yang bernama Ketetapan MPR atau Undang-Undang dan peraturan lainnya.

Pertanyaannya, bagaimana ketetapan hukum di Indonesia, apakah pasal-pasal dan ayat-ayat yang telah ditulis dalam sebuah aturan perUndang-undangan telah sesuai dengan prosedurnya?. Artinya, tidak menyalahi aturan kebijakan di atasnya, atau justru bertentangan. Berikut hasil analisis dari kebijakan seputar dunia pendidikan.

Kontroversial PerUndang-Undangan Pendidikan
Sebagaimana yang dijelaskan dalam Peraturan perUndang-undangan, bahwa seharusnya antara falsafah, ideologi, dan Undang-undang, Keppres, Kepmen, dan PP harus selalu mengacu/bersumber pada falsafah dan ideologi atau aturan/kebijakan yang lebih atas. Namun pada kenyataannya peraturan tersebut tidak sepenuhnya dilaksanakan, terbukti masih banyak dijumpai atauran-aturan/kebijakan yang masih kontroversial. Di bawah ini adalah contoh-contoh hasil keputusan yang masih kontroversi dan belum sesuai dengan aturan/kebijakan yang lebih tinggi.

Kontroversi PP dan UU Sisdiknas Tentang Ujian Akhir Nasional (UAN)
Dalam UU Sisdiknas pasal 58 ayat (1) secara tegas menyatakan bahwa Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Pemerintah hanya punya wewenang melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, sebagaimana tercantum dalam pasal 59 ayat (1). Sangat jelas bahwa dalam UU Sisdiknas bahwa, pemerintah tidak boleh ikut campur dalam evaluasi hasil belajar, karena itu merupakan kewenangan guru.

Disisi lain PP 19 tahun 2005 yaitu pada pasal 63 ayat (1) menyatakan bahwa penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas penilaian hasil belajar oleh pendidik, penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan, dan penilaian hasil belajar oleh Pemerintah. Pasal tersebut sehingga memunculkan Ujian Akhir Nasional (UAN), yang mengambil alih peran guru sebagai pengevaluasi hasil belajar. Dengan demikian, semakin jelas bahwa penyelenggaraan UN, dengan payung hukumnya PP 19/2005 tersebut tidak sesuai dengan UU sisdiknas, payung hukum yang berada di atasnya.

Kontroversi UU Sisdiknas dan UUD 1945 Tentang Dana Pendidikan
Salah satu faktor yang menjadi penentu utama bagi perkembangan dan kemajuan pendidikan nasional kita, tidak lain adalah faktor alokasi anggaran di bidang pendidikan yang diatur dalam Pasal 31 ayat (4) UUD 1945, yang berbunyi: “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”.

Pasal 31 ayat (4) UUD 45 tersebut merupakan garis batas yang mengatur pendanaan pendidikan, yakni sekurang-kurangnya 20% dari ABBN dan APBD. Namun, dalam UU Sisdiknas pasal 49 ayat (1) kembali menyatakan bahwa, Pemenuhan pendanaan pendidikan dapat dilakukan secara bertahap. Hal tersebut tentu sangat bertolak dengan amanat konstitusi yang tertuang dalam Pasal 31 ayat (4) UUD 1945.

Alasannya, Menurut skenario progresif yang diajukan pemerin- tah, sebagai wujud implementasi kata “bertahap” dalam Penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas, anggaran pendidikan dari 6,6 % APBN Tahun 2004 dengan kenaikan rata-rata 2,72 % dari anggaran tahun sebelumnya baru akan mencapai persentase 20 % pada tahun 2009. Menuruti skenario tersebut, maka seharusnya pada tahun 2005 ini besarnya anggaran pendidikan adalah sebesar 8,2 % dari nilai APBN. Kenyataannya, dalam APBN 2005 pemerintah hanya mengalokasikan dana pendidikan sebesar 5-6 % saja. (Jurnal BMK, No.13)

Kontroversi UU Sisdiknas dan UUD 1945 Tentang Sekolah Berbasis Internasional (SBI)
UU sisdiknas dinilai melegalkan kastanisasi dalam dunia pendidikan, hal ini tercermin dalam pasal 50 ayat 3 UU. Yakni, Sisdiknas membagi sekolah menjadi berbagai strata yang dipengaruhi oleh besaran pembayaran yakni; Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), Sekolah Standar Nasional (SSN), dan Sekolah Reguler.

Padahal jika diteliti lebih jauh mengenai perUndang-undangan diatasnya, yakni pasal 31 ayat (3) UUD 1945. Pasal tersebut menegaskan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan pendidikan nasional, bukan pendidikan intenasional. Jadi, sangat jelas bahwa UU Sisdiknas tersebut bertolak belakang dengan UUD 45.

Mengutip Ketua Dewan Pembina The Centre for the Betterment of Education (CBE) Ahmad Rizali, meskipun SBI diamanatkan oleh UU 20/2003 tentang Sisdiknas yang mewajibkan setiap kabupaten/kota mengembangkan sedikitnya satu SBI, di setiap jenjang pendidikan, di tataran kebijakan tidak jelas arahnya. Penggunaan standar negara OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) pada SBI menunjukkan indikasi kebenaran dugaan bahwa impor pendidikan semakin memantapkan kecurigaan terjadinya liberalisasi pendidikan dan pendidikan sudah menjadi sebuah komoditas yang diperdagangkan.

Berbagai kontroversial atas perUndang-undangan tersebut merupakan bukti bahwa, persoalan pendidikan di Indonesia dalam taraf mengkhawatirkan. Alasannya, hasil perUndang-undangan adalah sistem yang mengatur kinerja dunia pendidikan, akan tetapi kebijakan yang berlaku masih bertolak dengan falsafah atau ideologi bangsa, padahal falsafah atau ideologi bangsa merupakan tujuan ideal dari adanya pendidikan.

0 komentar: